Konsepsi Arsitektur Nusantara
Menurut Silas dalam Tanudjaja (1991), adanya hubungan-hubungan ini nampak pada wujud arsitektur tradisional masyarakat Jawa, khususnya bangunan candi, yang melambangkan alam atas (dewa, leluhur dan masa mendatang), alam tengah (kehidupan masa kini), dan alam bawah (masa lalu atau dosa).
Ketergantungan manusia terhadap alamnya, adalah satu hal yang menjadi orientasi nilai di dalam masyarakat tradisional, yang akan dimanifestasikan ke dalam wujud-wujud arsitektural yang sangat tergantung pada karakter-karakter alam. Sehingga menghasilkan karya-karya arsitektural yang akrab/santun, selaras, dan serasi dengan alamnya. Ini bukan mengandung pengertian bahwa terdapat ketakutan manusia terhadap alamnya, namun lebih merupakan tanggungjawab dari manusia itu sendiri terhadap Tuhan (Allah) untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Sebagai khalifah bukan berarti mengeksploitasi, namun mengelola dengan sebenar-benarnya sesuai dengan maksud Penciptanya.
Perumusan tentang arsitektur nusantara memang cukup sulit, mengingat bahwa keanekaragaman suku bangsa di Indonesia menghadirkan pula keanekaragaman arsitekturnya. Di satu sisinya, keanekaragaman ini mungkin akan menimbulkan perasaan bangga di dalam diri masyarakatnya karena adanya ke-bhineka tunggal ika-an. Namun demikian kebanggaan yang dilandasi oleh pemikiran bahwa keragaman budaya tidak menjadi penghalang bagi terwujudnya keserasian, kesatuan, dan kehidupan yang berdampingan secara serasi; di dalam kesatuan terdapat keragaman. Dengan demikian, perlu adanya upaya-upaya memecahkan permasalahan tersebut, sehingga akhirnya Tanudjaja (1991), mengemukakan dua buah alternatif pemecahan masalah, yaitu:
[A]
Tidak perlu diadakan rumusan tentang arsitektur nasional Indonesia; arsitektur-arsitektur tradisional di Indonesia tetap menjadi bagian yang mandiri di dalam kancah arsitektur Indonesia. Arsitektur-arsitektur tradisional daerah-daerah di Indonesia tersebut dibiarkan dan diberi kebebasan untuk berkembang dan tumbuh subur sesuai dengan ciri dan jiwanya. Arsitektur-arsitektur tersebut tidak perlu saling dirujuksilangkan atau dikawinkan untuk dijadikan arsitektur Indonesia, karena hal ini bisa mengakibatkan terjadinya arsitektur eklektik yang kurang mendasar. Nilai-nilai budaya tradisional yang terkandung pada arsitektur tradisional tersebut dibiarkan dan diberi kebebasan untuk berkembang di dalam ekosistemnya. Dengan demikian, tidak ada rumusan tentang arsitektur Indonesia, melainkan arsitektur di Indonesia (atau mungkin, arsitektur Indonesiawi yang bukan arsitektur Indonesia). Langkah ini bisa disertai dengan konsekuensi bahwa pada suatu saat kelak, mungkin ada suatu wujud arsitektur tradisional tertentu yang akan diakui oleh segenap anggota masyarakat di Indonesia, tidak terbatas hanya pada sekelompok masyarakat atau sekelompok suku bangsa, sebagai arsitektur Indonesia.
[B]
Upaya kedua ini merupakan upaya yang sangat berlainan, atau bahkan berlawanan, dengan upaya yang pertama. Perumusan tentang arsitektur Indonesia dilakukan melalui langkah-langkah yang bertahap dan mendasar. Asal-muasal dari setiap komponen arsitektural; seperti atap, tiang, dinding, lantai, langit-langit, jendela, dan pintu bangunan dan suprasegmen arsitektural; seperti bentuk, warna, tekstur, dan ukuran dari setiap komponen arsitektural ditelaah secara mendasar. Asal-muasal dari setiap suprasegmen komponen arsitektural yang terdapat di dalam setiap arsitektur tradisional (maupun non-tradisional) di Indonesia ini ditelaah; menyangkut dasar-dasar filosofisnya, nilai-nilai sosial budaya yang dikandungnya, dan konsepsi-konsepsi lain yang mendasari perwujudannya. Selanjutnya, diadakan penelusuran terhadap benang-benang penghubung antar masing-masing konsepsi yang menjadi jiwa dan asal-muasal perwujudan tersebut. Akhirnya, jika terdapat kemiripan di dalam setiap konsepsi, maka konsepsi tersebut dapat dinyatakan sebagai konsepsi yang mewakili arsitektur-arsitektur di Indonesia. Namun demikian, langkah-langkah ini hampir pasti tidak akan menghasilkan rumusan tentang bentuk atap, tiang, langit-langit, dan komponen-komponen arsitektur lainnya, ataupun gambaran nyata tentang warna, tekstur, dan ukuran dari setiap komponen arsitekturalnya. Hal ini mungkin, disebabkan karena keanekaragaman arsitektur di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar